Chapter 1
Perantauan
Hari-hari
berjalan bak air tenang di danau. Siap kapan saja akan beriak. Ada kalanya akan
ada anomali yang terjadi. Baik dan buruk sudah ada di dunia ini. Tidak perlu
merasa khawatir. Tetapi, tetap saja. Hati ini tidak bisa berbohong. Semua yang
terjadi. Biarlah terjadi. Biarkan seperti air di danau, di laut, dimanapun. Aku
hanya bisa pasrah.
Usaha tidak
pernah mengkhianati hasil. Kesabaran yang sudah ku hadapi selama dua tahun
akhirnya berbuah hasil. Aku bekerja di sebuah perusahaan besar di negara ini.
Perusahaan idaman banyak orang, sangat banyak yang berharap bisa bekerja
disini. Aku adalah orang yang beruntung. Aku memang tidak terlalu hebat, tapi
aku percaya akan kekuatan do’a.
Selama dua
tahun, aku menjalani kehidupan berat seusai lulus dari kuliah. Terlilit hutang
dengan banyak orang, selalu menunggak uang kontrak rumah, bahkan tidak adanya
uang untuk membeli makanan pun sudah ku jalani. Bukan hanya dua tahun
belakangan ini saja. Seumur hidupku, selalu berkutat dengan hutang piutang
ayahku.
Hanya bisa
bersabar. Namun kadang rasa ini mencekik batin dan pikiranku. Kadang terbersit
di pikiran untuk mengakhiri kehidupan tubuh ini. Tetapi aku terlalu takut
menghadapi Tuhan karena dosa yang terlalu banyak ku perbuat. Hingga akhirnya
aku masih hidup sampai sekarang.
Yang bisa ku
usahakan sekarang adalah bagaimana cara menolong keluargaku yang tidak berdaya
ini. Aku ingin berguna untuk keluarga yang sangat ku sayangi. Aku mencari
kesana kemari, dimana aku bisa menemukan pekerjaan. Pekerjaan apapun, saat itu,
yang sangat ingin ku temukan. Aku selalu berpikir, aku akan mendapatkan
kemudahan saat sudah bekerja nantinya. Hingga akhirnya, aku mendapatkannya. Bekerja
di sebuah perusahaan besar. Aku tidak menyangka akan mendapatkannya.
Modal
kenekatan menuntunku menuju ibukota untuk mencari sesuap nasi. Aku bekerja di
sebuah perusahaan negara yang sangat terkenal di negara ini. Rasa bangga yang
ku rasakan tidak terbendung. Aku selalu menceritakan ‘kesuksesan’ ku ini dengan
teman curhat terbaikku. Media sosial yang selama ini menjadi tempat mencurahkan
hatiku, sekalipun itu hanya tipuan semata.
“Alhamdulillah
akhirnya kamu kerja juga yah sekarang.”
“Wah selamat
yah”
“Cie yang
kerja di perusahaan besar”
“Tetap
semangat yah”
“Kamu hebat.
Kami bangga punya kamu”
Semua
menyemangatiku, memberiku ucapan selamat, bahkan memuji-muji. Aku hanya bisa berterimakasih.
Tetapi sejujurnya, aku merasa takut. Takut tidak mampu melakukan tugas dengan
benar. Takut mengecewakan semua orang yang telah ‘memujiku’. Bahkan takut bertemu
kembali dengan orang tuaku yang sekarang ini harus jauh denganku. Aku belum
sukses. Lantas apa yang akan aku berikan kepada mereka? Rasa kecewa. Jika aku
menyerah. Sudah pasti.
Aku bukannya
tidak bersyukur. Aku hanya tahu diri. Aku merasa ini bukan keahlian sebenarnya
yang ada pada diriku. Aku hanya terpaksa melakukannya, demi membahagiakan kedua
orang tuaku. Aku tak mau mengecewakan mereka, seperti halnya saudara-saudaraku.
Aku ingin membuat mereka bangga. Sehingga aku memilih jalan ini.
Aku manusia biasa yang tidak luput dari rasa
menyesal. Aku tahu ini sangat berat untukku. Aku sama sekali tidak menyukai
duniaku ini. Aku ingin terbebas dari belenggu dunia. Aku ingin menciptakan
ulang dunia yang ku buat sendiri. Atas kehendakku sendiri. Tetapi aku harus
bertahan di dunia ini. Aku belum boleh menyerah. Aku hanya boleh menyerah jika
memang diharuskan. Tetapi untuk sekarang. Tidak!